Suku Yanomami dari daerah Amazon, Amerika Selatan konon justru akan memakan daging sang mayat saat bersamaan dengan upacara pemakaman.
Bagi orang lain, mungkin ini adalah ritual terburuk yang pernah ada, yakni prilaku Endocannibalisme Suku Yanomami dalam ritual penguburan anggota sukunya. Dalam manuskrip kuno disebutkan bahwa ada sebagian anggota suku yang memakan daging si mati beramai-ramai dengan tujuan sifat-sifat dan kebaikan si mati akan dibawa oleh keturunan mereka yang memakan, serta si mati mendapat kedamaian di langit. Namun, sumber lain menyebutkan bahwa yang dimakan suku Yanomami bukan daging mayat, tetapi memakan abu si mati setelah proses kremasi.
Tapi yang jelas, ritual ini ada dan dijalani oleh suku ini. Bahkan sumber lain menyebut ada beberapa suku lain di Amerika Selatan ini dan juga Australia yang mempraktekkan ritual menyeramkan ini.
Endocannibalisme sendiri berasal dari bahasa Yunani Endo yang berarti "internal" atau "dari dalam" dan kanibalisme. Endocannibalisme adalah istilah yang menggambarkan praktik makan tubuh orang mati anggota dari suku atau kelompok sosial. Praktek ini konon memiliki berbagai tujuan, termasuk upaya untuk menyerap karakteristik dan sifat-sifat almarhum, keyakinan bahwa dengan makan daging manusia, ada regenerasi kehidupan setelah kematian, serta penggabungan roh orang mati ke dalam kehidupan keturunan, atau untuk memastikan pemisahan jiwa dari tubuh.
Namun dalam melihat fenomena ini, banyak akademisi merasa endocannibalisme adalah tuduhan palsu yang dilemparkan kolonial pada masa awal untuk mendapatkan alasan dominasi politik. Sebuah alasan yang masih harus terus ditelusuri. Seorang antropolog, Napoleon Changon, sempat mengatakan, komunitas Yanomami di Amerika Selatan masih makan abu dan sisa tulang orang yang mati setelah dikremasi.
Ketika ada anggota suku Yanomami meninggal, reaksi pertama dari sukunya adalah kemarahan yang tak terbatas. Suku yanomami beranggapan kematian itu bukan fenomena alam, tapi disebabkan oleh roh jahat yang dikirim oleh seorang dukun dari suku lain yang bermusuhan. Oleh karena itu, kepercayaan ini tak sedikit menimbulkan banyak perang suci di antara suku-suku Amazon.
Suku ini juga tak serta merta langsung percaya bahwa ia kehilangan baterai. Mereka akan mengadakan ritual menari dan menyanyi memanggil jiwa yang dianggap sedang tersesat diluar jasad. Mereka menari-nari di sekitar api unggun dengan dihadiri oleh semua anggota suku. Tidak ada derai air mata, yang ada hanyalah nyanyian dan tarian serta panggilan nama si mati sepanjang ritual.
Setelah semua upaya gagal, mereka baru mulai menangis untuk almarhum. Tangisan Pelayat terdengar di seluruh desa sampai tengah malam, dan bahkan kembali keesokan harinya pagi-pagi buta. Semua berduka untuk almarhum.
Setelah dipastikan benar-benar mati, suku ini baru mulai upacara pemakaman yang sesuai. Ritual upacara pemurnian tubuh dan jiwa yang dimulai dengan menempatkan sebuah plug (sejenis penyumbat) tembakau ke mulut orang yang meninggal, dan kemudian tubuh disimpan di sebuah tempat tidur gantung, meringkuk seperti anak kecil dalam rahim ibu. Bau tembakau ditujukan sebagai bantuan dalam menemukan tempat yang tepat di surga. Posisi tubuh diperlukan sehingga dapat lahir dengan kehidupan kekal yang baru seperti reinkarnasi. Sementara itu, beberapa anggota suku menghiasi tubuh, dengan menggunakan kapas dan bulu burung dalam rangka meningkatkan keinginan jiwa untuk pergi.
Saat menjalani ritual ini, bagi kerabat dekat dan anggota suku konon beramai-ramai memakan daging si mati untuk kebaikannya. Meski ada juga yang mengatakan memakan abu si mati. (imm/imm)
source : today.co.id