Jadi, jika diterjemahkan, Wayang Jimat berarti sebuah benda pusaka berupa wayang yang memiliki kesaktian lebih.
Seperangkat Wayang Jimat yang berisi sekitar 80 tokoh pewayangan ini telah berusia ribuan tahun. Saking tuanya, bahkan beberapa warna masing-masing tokoh wayangnya pun perlahan sudah pudar kerena ditelan usia.
Wayang Jimat ini sejak jaman dahulu sampai sekarang tidak pernah berpindah tempat. Dipercaya, wayang-wayang ini hanya boleh berada dan bersemayam di kawasan Lereng Gunung Merbabu, tepatnya di Kampung Ndakan, Kenalan, Magelang, Jawa Tengah.
Diterangkan oleh Sumitro (70) pewaris Wayang Jimat sekaligus sesepuh Kampung Ndakan, Wayang Jimat ini harus dirawat secara turun temurun oleh sesepuh Kampung Ndakan, tidak boleh oleh orang dari daerah lainnya.
“Wayang Jimat harus berada di Kampung Ndakan. Pewaris Wayang Jimat bukan secara turun-temurun berasal dari garis keturunan keluarga sendiri. Namun pewaris wayang ini haruslah orang yang dituakan di Kampung Ndakan yang dianggap mampu menjaga dan merawatnya,” kata pria yang telah 30 tahun merawat wayang keramat tersebut.
Diterangkan tentang asal muasal Wayang Jimat oleh pria yang juga seorang dalang wayang kulit ini, Wayang Jimat merupakan salah satu benda keramat peninggalan dari salah satu keraton yang ada di tanah Jawa ini, yaitu Keraton Kasunanan Surakarta.
Kala itu, ada seorang pangeran darah biru dari Keraton Surakarta menderita sakit yang berkepanjangan. Berbagai tabib telah mencoba untuk menyembuhkan penyakitnya. Namua tetap saja, sang pangeran tak sembuh juga.
Hingga akhirnya sampailah kepada pengobatan tabib yang terakhir. Si tabib tersebut mengatakan kepada pangeran kalau sakit tersebut hanya bisa disembuhkan oleh seorang pertapa sakti yang berasal lereng Gunung Merbabu yang bernama Ki Ajar Ndaka.
Bersama para pengawal setia istana, sang pangeran segera dibawa menuju ke lereng gunung yang kini membatasi dua kota di wilayah Jawa Tengah, yaitu kota Magelang dan Salatiga. Benar, di lereng gunung ini memang terdapat seorang pertapa bernama Ki Ajar Ndaka yang dimaksud.
Setelah menceritakan penyakitnya kepada Ki Ajar Ndaka, segera pertapa sakti ini pun mengobati sakit sang pangeran. Setelah dibacakan mantera dan berbagai ramuan obat diberikan, Ki Ajar Ndaka langsung memerintahkan sang pangeran untuk pulang dan segera istirahat.
Beberapa hari setelahnya, berangsur-angsur sakit yang menahun tersebut mulai sembuh. Sang pangeran menyambut bahagia atas kesembuhannya. Segera, pihak keraton mengutus para punggawa dan prajurit untuk menemui Ki Ajar Ndaka dan memboyong ke Keraton Surakarta sebagai tamu kehormatan.
Sebagai ucapan terimakasih serta balas jasa, Ki Ajar Ndoko lantas diangkat sebagai kerabat kerajaan, namun tawaran tersebut ditolah Ki Ajar Ndaka. Akan diberi sebidang tanah berikut emas dan harta benda pun, dengan rendah hati pertapa ini juga menolaknya.
Segala pemberian yang diberikan keraton ditolaknya, sampai akhirnya pihak keraton menyodorkan sebuah peti kayu yang berisi seperangkat wayang kulit bernama Wayang Jimat, baru Ki Ajar Ndaka bersedia menerimanya.
Dibawalah Wayang Jimat tersebut kembali ke tempat pertapaan Ki Ajar Ndaka di lereng Gunung Merbabu. Dengan setia, pertapa ini selalu merawat benda pusaka pemberian Keraton Surakarta tersebut sampai dirinya meninggal.
Ketika akan meninggal, dirinya berpesan agar Wayang Jimat ini selalu dirawat dan dipelihara serta digelar untuk menghibur orang yang sedang kesusahan. Oleh Ki Ajar Ndaka, Wayang Jimat tersebut bukan diwariskan kepada anak cucu keturunannya, melainkan diwariskan kepada sesepuh warga kawasan lereng Merbabu.
Makam Ki Ajar Ndaka kini terletak di sebelah timur kampung yang selalu diselimuti kabut ini. Untuk mengenang jasanya, daerah tempat di mana Ki Ajar Ndaka menghabiskan seluruh hidupnya untuk bertapa tersebut lantas dimanakan Kampung Ndakan, diambil dari nama belakangnya, yaitu Ndaka.
Arjuna alias Janoko
Seperangkat Wayang Jimat tersimpan dalam kotak berbahan kayu jati dengan ukuran panjang sekitar 1 m, lebar 3 m dan tinggi kurang lebih setengah meter. Wayang tua ini kini berada di rumah kediaman Sumitro, sesepuh kampung. Peti ini masih asli, alias masih utuh seperti ketika Ki Ajar Ndaka menerimanya dari Keraton Surakarta dulu.
Wayang Jimat ini sangat dikeramatkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Tengah. Ini karena Wayang Jimat dipercaya memiliki kekuatan unsur magis yang kuat melekat pada salah satu tokohnya, yaitu tokoh wayang Janoko.
Pada umumnya, wayang kulit akan terbuat dari kulit sapi. Namun wayang tokoh Janoko dari Wayang Jimat ini terbuat dari bahan yang tidak lazim, yaitu terbuat dari kulit manusia. “Yang terbuat dari kulit manusia hanya tokoh Janoko saja. Kalau tokoh yang lain pada Wayang Jimat sama saja, bahannya terbuat dari kulit sapi,” tegasnya.
Dikatakan oleh bapak tiga orang anak ini kepada KRjogja.com, konon bahan kulit yang dipakai untuk membuat tokoh Janoko alias Arjuna atau Permadi pada Wayang Jimat adalah kulit dari seorang pemuda suatu desa yang tinggal di sekitar daerah Surakarta, yang hidup ketika jaman Keraton Kasunanan Surakarta belum didirikan.
“Kalau siapa orang yang kulitnya dijadikan untuk bahan pembuatan wayang tokoh Janoko, saya tidak bisa memastikan siapa orangnya. Namun yang pasti, dalam pembuatnnya dahulu, air yang dipergunakan untuk menyamak wayang Janoko ini adalah bekas air yang digunakan untuk memandikan jenazah mayat,” imbuhya.
Salah satu tokoh kesatria dalam Pandawa Lima di Wayang Jimat ini memiliki bentuk serta perawakan sama seperti tokoh wayang Janoko pada umumnya, yaitu berperawakan kecil, hidung mancung dan bertubuh tinggi.
“Umumnya, wayang Janoko itu akan berwarna kuning terang, tapi Janoko di Wayang Jimat ini warnanya lebih gelap dan hitam. Ini disebabkan bahannya yang terbuat dari kulit manusia. Wayang kulit biasa, kalau diraba akan terasa kasar, namun wayang Janoko ini kalau diraba rasanya lembut, kulitnya tipis serta ringan.”
Wayang Janoko ini pun seolah memiliki nyawa. Ketika berada di dalam peti jati tempat disimpannya Wayang Jimat, sering terdengar suara gaduh yang berasal dari dalam peti, bahkan suara orang seperti sedang mengetuk peti pun acap terdengar. Suara itu baru reda jika si perawat wayang ini memberikan sesaji.
Tiap malam Jumat Kliwon, Janoko ini selalu meminta sesaji. Sesaji tersebut berupa kembang, dupa, dan air putih, yang kesemuanya diletakkan di atas peti. “Selama 30 tahun saya merawat Wayang Jimat, saya belum pernah terlambat memberikan sesaji. Saya tidak tahu akan terjadi apa jika sesaji itu terlabat diberikan.”
Ketika pagelaran Wayang Jimat ini digelar, kembali…. Sang Janoko ini pun selalu menunjukan kalau dirinya itu hidup. “Saya sering merasakan sesuatu yang berbeda ketika saat Janoko akan tiba dimainkan, Janoko tersebut seperti hidup,” aku Sumitro.
Ketika giliran tokoh Janoko ini tampil di tangan sang dalang, wayang ini seolah bergerak-gerak sendiri tanpa dimainkan oleh dalang. Jadi, justru tangan sang dalang lah yang mengikuti gerak wayang tokoh Janoko ini yang bergerak-gerak dengan sendirinya.
“Hanya para pewaris saja yang boleh mementaskan Wayang Jimat ini, selain itu tidak ada yang kuat memainkannya. Pernah ada seorang dalang yang memainkan Janoko Wayang Jimat ini, tapi dalang tersebut tidak kuat. Dikatakan oleh dalang tersebut, ketika mau dimainkan, Janoko tersebut terasa berat dan membuat tangannya bergetar.”
Mengabulkan Segala Permintaan
Dalam setahun, sedikitnya Wayang Jimat ini wajib 2 kali ditampilkan dalam pagelaran wayang kulit. Kedua pegelaran itu pun harus dilaksanakan di Kampung Ndakan pada bulan Sapar dan bulan Syawal, bulan yang merupakan bulan baik dalam kelender penanggalan Jawa.
Dalam setiap pementasannya, berbagai sesaji yang harus dipersiapkan oleh Sumitro, sebelum Wayang Jimat digelar. Sesajen itu diantaranya 2 buah ingkung ayam, 2 buah tumpeng, 2 sisir pisang, 2 buah kain jarik, 2 buah jagung, 2 batang tebu, 2 cangkir minuman kopi, 2 cangkir minuman teh, 2 buah jenang putih dan 2 buah kemenyan.
“Perlengkapan sesajen yang disediakan sepasang, ini dimaksudkan sebagai perlambang kalau kehidupan di dunia itu membutuhkan suatu keseimbangan di dalamnya, seperti halnya Sang Pencipta selalu menciptakan makhluknya berpasangan.”
Sumitro mengaku, dalam setiap pementasan Wayang Jimat yang dilakukannya, dirinya tidak pernah menentukan lakon alias judul atau tema apa yang akan diusungnya terlebih dahulu dalam pagelaran Wayang Jimat nantinya. Itu semua muncul dengan sendirinya.
Ketika sesajen telah dipersiapkan semua dan dupa dinyalakan, Sumitro kemudian membacakan mantera yang dahulu juga dibaca oleh pewaris-pewaris Wayang Jimat ini sebelum dirinya. Pada saat itulah, baru sang dalang ini mendapat wangsit tentang lakon yang harus dimainkannya saat itu.
“Kalau masalah lakonnya apa nanti, seperti itu sudah jalan dengan sendirinya, seolah ada yang mengarahkan saya untuk memainkan lakon tersebut dari awal hingga akhir nantinya. Jadi yang menentukan lakonnya itu bukan saya, tapi Wayang Jimat itu sendiri.”
Selama pegelaran Wayang Jimat berlangsung, dupa pun tetap harus selalu dibakar dan tidak boleh padam mengharumkan aroma magis pagelaran wayang ini. Dupa tersebut baru bisa dimatikan ketika kedua gunungan kembar pada wayang disatukan, pertanda pagelaran Wayang Jimat telah usai.
“Selain bulan tersebut, Wayang Jimat ini juga bisa ditampilkan, asalkan itu merupakan suatu pagelaran nadzar Wayang Jimat. Kalau yang untuk nadzar, Wayang Jimat boleh digelar di luar Kampung Ndakan dan boleh dilaksanakan kapan saja,” tambahnya.
Artinya, setiap orang yang memiliki keinginan baik, kemudian si orang tersebut berjanji jika keinginannya nantinya tercapai, dia akan memenuhi janjinya tersebut, yaitu dengan menanggap Wayang Jimat ini. Itulah yang dimaksud denga nadzar terhadap Wayang Jimat.
Kebanyakan dari mereka yang melakukan nadzar Wayang Jimat adalah mereka yang ingin mendapatkan pekerjaan, dinaikan jabatannya, ingin mendapat momongan, dimajukan penghasilan dan bisnis usahanya. Bahkan dari yang dahulu miskin kemudian kini menjadi kaya raya pun ada.
“Siapapun orangnya yang nadzar Wayang Jimat, pasti segala permintaannya akan terkabulkan. Namun jangan lupa, nadzar tersebut harus ditepati. Kalau tidak ditepati, nanti akan berbalik menjadi petaka bagi orang tersebut,” ingat Sumitro kepada.
dikutip : yogyanews.com